Wednesday 17 December 2014

Catatan Perjalanan Haji Shadiq Pasha

Setiap hari aku membuka peta dan menelaah jalur perjalanan yang pernah kulalui saat melaksanakan ibadah haji. Stasiun-stasiun transit di Yanbu’, Rabigh, dan Jeddah senantiasa membayang-bayangi mataku. Aku hanya bisa terdiam, mengingat hari-hari selama perjalanan mengarungi negeri-negeri gersang itu, bagaikan kafilah Arab yang menyeberangi gurun selama enam bulan dengan berbekal kemah. Masih lekat dalam ingatanku ketika di tengah perjalanan harus berjalan kaki bersama rombongan lain. Kami pun bersama-sama mengayun langkah untuk mencari makanan. Seperti tidak ada perbedaan di antara kami, apalagi permusuhan. Saat sampai di Madain Shalih, aku berinisiatif untuk mengajak para pemimpin kabilah-kabilah di sana; suku Aida, suku Faqir, dan suku Bali untuk mengikrarkan perdamaian. Mereka rupanya menyambut baik ajakanku lalu bersepakat untuk berdamai, paling tidak selama setahun. Inisiatifku untuk mendamaikan kabilah-kabilah itu dilatari oleh keadaan, di mana kami akan melewati wilayah-wilayah dengan medan berat yang dihuni suku Aida dan Faqir. Karenanya, kami pasti akan sangat membutuhkan unta-unta milik kedua suku itu untuk membawa bekal dan perlengkapan kami, termasuk peralatan perang dan kayu bakar.



Kami pun akan sangat membutuhkan tenaga unta milik suku Bali untuk membawa dua ribu tongkat hingga ke pelabuhan terdekat. Unta milik suku Bali itu sudah terbukti mampu melalui medan terjal hingga ke dekat Madain Shalih, padahal jaraknya bisa sampai dua belas marhalah. Berdasarkan perjanjian perdamaian itu, tiap-tiap kabilah memiliki tugas tersendiri untuk membawa bekal dan perlengkapan kami untuk jarak tertentu.


Semua kabilah melaksanakan tugas masing- masing dengan sangat konsisten. Atas prakarsa mengeluarkan inisiatif perdamaian, aku mendapat kehormatan untuk memimpin perjalanan.
paket umroh murah 2015 jakarta


Pengangkatan tersebut ditandai dengan sebuah perayaan yang diramaikan dengan alunan musik dan nyanyian. Kami pun tak lupa memanjatkan doa. Dengan kondisi demikian, kami akhimya bisa sampai ke kota Madinah. Di kota suci itu, banyak manfaat yang dapat kami petik, di antaranya dapat berinteraksi dengan para penduduk kota Rasulullah, demikian juga dengan berbagai rupa manusia dari seluruh penjuru dunia. Selain itu, sebagai sesama peziarah kota suci, semua kafilah dari berbagai negeri tidak pernah menjauh satu sama lain. Dalam perjalanan sebelumnya, orang yang letih mungkin akan terlambat lalu ditinggal, atau justru sebagian yang lain tersesat di tengah gurun yang tak bertepi, lalu menemui ajal karena tak kuat menahan lapar dan dahaga.



Adapun dalam perjalanan kami, semua kafilah berpegangan satu sama lain sehingga satu kafilah akan menjadi petunjuk jalan bagi kafilah yang lain, begitu pula sebaliknya secara bergantian. Semua itu kami lakukan dalam rangka mengarungi gurun persang nan tak bersahabat Suatu ketika, saat mendapat tugas sebagai asisten pelaksana pembangunan jalur kereta api Hijaz, aku melihat beberapa kelompok fakir yang tak mau menunggu kafilah lainnya justru memilih untuk berjalan kaki. Mereka pun membawa bekal secukupnya untuk perjalanan mereka. Aku sebenarnya telah menulis banyak hal selama menjadi asisten pelaksana pembangunan jalur kereta api. Namun, semua tulisanku turut musnah saat kebakaran melahap rumahku. Hanya sedikit yang tersisa setelah peristiwa kebakaran itu, yaitu yang masih aku ingat di dalam hatiku. Redaktur: Chairul Akhmad Reporter: Hannan Putra Sumber: Rihlah Habsyah oleh Shadiq Pasha


Read more : paket umroh bulan januari 2015



Catatan Perjalanan Haji Shadiq Pasha

No comments:

Post a Comment